Kamis, 12 November 2015

Unsur-Unsur Puisi

Pengertian Puisi

Menurut Waluyo (2005: 1) Puisi adalah karya sastra yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul dipilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat atau padat, namun berkekuatan. Kata-kata yang digunakan berima dan memiliki makna konotatif atau bergaya figuratif. Pradopo (2007: 314) berpendapat bahwa puisi adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung. Puisi juga merupakan ucapan ke inti pati masalah, peristiwa, ataupun narasi (cerita, penceritaan).

Selanjutnya dari beberapa pengertian dari para ahli dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengertian puisi adalah sebuah karya sastra seseorang yang merupakan ekspresi pikiran dan pengalaman yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang dipadatkan, dipersingkat serta memperhatikan unsur bunyi dan pemilihan kata-kata kias sehingga menciptakan wujud tulisan yang indah.

Unsur-Unsur Puisi

Sebuah puisi terbangun dari berbagai unsur yang membuatnya menjadi indah dan menarik. Menurut Sayuti (2002: 101-358) puisi terbentuk dari unsur bunyi dan aspek puitiknya, diksi, citraan, bahasa kias, wujud visual dan makna.
1) Bunyi dan Aspek Puitiknya
Menurut Sayuti (2002: 104-137) bunyi dalam puisi menyangkut unsur persajakan (rima), asonansi dan aliterasi, efoni dan kakafoni, serta onomatope dan lambang rasa. Persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam kata atau lebih yang berposisi di akhir kata, maupun yang berupa penggulangan bunyi yang sama, yang disusun pada jarak atau rentang tertentu secara teratur.

Pada puisi sering dijumpai persamaan bunyi yang vokal dan konsonan. Asonansi adalah persamaan bunyi berupa vokal yang berjarak dekat. Sedangkan aliterasi adalah persamaan bunyi yang berupa konsonan (Sayuti, 2002: 117-118). Efoni adalah suatu kombinasi vokal. Konsonan yang berfungsi mempercepat ucapan, mempermudah pemahaman arti, dan bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya, sedangkan kakafoni adalah bunyi konsonan yang berfungsi memperlambat irama baris yang mengandungnya (Sayuti, 2002: 122). Onomatope adalah bunyi yang bertugas menurukan bunyi dari bunyi sebenarnya dalam arti mimetik dalam puisi. lambang rasa adalah bunyi tertentu yang membawa nilai rasa berbeda antara yang satu dengan lainya (Sayuti, 2002: 129).

2) Diksi
Diksi merupakan pilihan kata-kata yang dipilih seorang penyair untuk mengungkapkan ekspresi dan perasaannya. Diksi adalah bentuk serapan dari kata diction yang oleh Hornby (via Jabrohim, 2002: 35) diartikan sebagai choise ad use of words. Keraf (via Jabrohim, 2002: 35) menyatakan diksi merupakan pilihan kata, menurutnya ada dua kesimpulan penting mengenai pilihan kata.

Pemilihan diksi memiliki peranan penting dalam menyampaikan ekspresi seorang penyair. Dalam hal menciptakan puisinya, penyair selalu memperhitungkan (1) kaitan kata tertentu dengan gagasan dasar yang diekspresikan, (2) wujud kosakatanya, (3) hubungan antar kata, (4) efek bagi pembaca (Sayuti, 2002: 160). Pemilihan kata dalam puisi berhubungan dengan sifat dari puisi tersebut. Menurut Sayuti (2002: 160) diksi dalam puisi tetap diorentasikan pada sifat-sifat hakiki puisi yang dapat dilihat secara emotif, objektif, imitatif/ referensial dan konotatif.

3) Citraan
Menurut Altenbernd (via Pradopo, 2007: 79-80) citra atau Imaji (image) adalah gambaran angan, pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yang menggambarkannya. Sedangkan cara membentuk kesan mental atau gambaran sesuatu disebut dengan citraan (imagery). Citraan atau pengimajian adalah hal-hal yang berkaitan dengan citra ataupun citraan (Jabrohim, 2002: 36). Pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau mengkonkretkan apa yang dinyatakan oleh penyair (Waluyo, 2002: 10)

Sayuti (2002: 174-175) membedakan citraan atas citraan yang berhubungan dengan indera penglihatan (visual), yang berhubungan dengan indera pendengaran (citra auditif), yang membuat sesuatu yang ditampilkan tampak bergerak (citra kinestetik), yang berhubungan dengan indera peraba (citra kinestetik), yang berhubungan dengan indera peraba (citra ternal/ rabaan). Yang berhubungan dengan indera penciuman (citra penciuman), dan yang berhubungan dengan indera pencecapan (indera pencecapan).

4) Bahasa Kias
Pradopo (2007: 61) menyampaikan bahwa kiasan sama dengan bahasa figuratif (figurative language). Kiasan adalah majas yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna Sujiaman (via Jabrohim, 2001: 42). Bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian katanya, dan bertujuan untuk mencapai arti dan efek tertentu (Jabrohim, 2001: 42).

Alternbernd (via Pradopo 2007: 62) menggelompokan bahasa figuratif menjadi simile, metafora, epic-simile, personifikasi, metonimi, dan sinekdoki. Simile ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lainnya (Pradopo,2007: 62).

Metafora merupakan bentuk bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya (Pradopo, 2007: 66). Bahasa kias yang ketiga adalah epik simile atau perumpamaan epos. Epic simile ialah pembandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang (Pradopo, 2007: 69). Jenis bahasa figuratif yang hampir sama dengan metafora adalah personifikasi. Menurut Pradopo (2002: 75) personifikasi ialah mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia.

Bahasa kias yang sering disebut sebagai pengganti adalah metonimi. Menurut Pradopo (2002: 77) metonimi dalam bahasa indonesia sering disebut sebagai kiasan pengganti nama. Bahasa kias yang terakhir dibahas oleh Pradopo adalah sinekdoki. Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri. Altenbernd (via Pradopo, 2002: 78) Sinekdoki ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni pras pro toto dan totum pro parte. Pras pro toto adalah penyebutan sebagian dari suatu hal untuk menyebutkan keseluruhan, sedangkan totum pro parte adalah penyebutan keseluruhan dari benda atau hal untuk sebagiannya.

5) Sarana Retorika
Sarana retorika pada dasarnya merupakan tipu muslihat pikiran yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pembaca atau pendengar merasa dituntut untuk berpikir (Sayuti, 2002: 253). Menurut altenbernd & lewis (via Wiyatmi, 2006: 70) sarana retorika atau rhetorical devices merupakan muslihat yang dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu, hiperbola, ironi, ambiguitas, paradoks, litotes, dan elipsis.

6) Wujud Visual
Penyair menuliskan puisinya dalam bentuk yang berbeda-beda. Bentuk tulisan tersebut biasa disebut dengan bentuk visual. Bentuk visual meliputi penggunaan tipografi dan susunan baris (Wiyatmi, 2006: 71). Bentuk visual dari puisi sangat beragam menurut Wiyatmi (2006: 71-73) bentuk visual dapat dibedakan menjadi bentuk visual yang seperti prosa, bentuk konvensional dan bentuk zig-zag.

7) Makna
Makna dalam penulisan puisi berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penyair ketika menulis puisi. Makna dalam puisi dapat ditemukan dengan cara mencermati bait-bait dalam puisi. Pada umunya berkaitan dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami dalam kehidupan manusia (Wiyatmi, 2006: 73)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar